Kenyataan hidup yang semakin memperlihatkan tingkat kekerasan yang semakin tinggi merupakan kenyataan yang kini kita hadapi bersama. Indonesia pasca 1997, dimana kekerasan sosial merupakan kenyataan yang sampai kini terus terjadi dan semakin merebak masuk dalam hampir semua segi kehidupan berbangsa di Indonesia. Berbagai macam sebab dan alasan pun muncul dibalik kekerasan-kekerasan sosial yang melanda dalam kehidupan berbangsa kita. Dari mulai kekerasan pribadi sampai dengan kekerasan-kekerasan yang sifatnya komunal.
Dalam perkembangan kekerasan dan konflik yang terjadi, jika dikelompokkan dalam kategori-kategori, maka kita dapat membaginya dalam beberapa kategori. Seperti sudah disinggung di atas, berdasarkan keterlibatanya, kekerasan yang pertama adalah dalam kategori komunal. Kekerasan yang melibatkan kelompok sosial satu dengan yang lain. Kelompok sosial tersebut dapat berdasarkan kelompok agama, etnis, atau pun kelas sosial. Dalam kontek Sumbagsel, khususnya Lampung, kenyataan seperti ini sering terjadi. Kedua, merupakan kategori separatis. Persoalan hubungan antara kelompok masyarakat dengan negara, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah, yang berujung pada kekerasan dan mendorong untuk terjadi pemisahan, memisahkan diri dari NKRI. Ketiga, kategori kekerasan negara-masyarkat, yang merupakan akibat dari ketidakpuasan terhadap negara dan kebijakan-kebijakan penyelenggara negara. Kekerasan yang terjadi dalam kategori ini tidak mendorong terjadinya pemisahan, berbeda dengan yang sebelumnya. Kategori yang keempat, merupakan kekerasan dalam hubungannya antara perusahaan dengan masyarakat.
Secara umum konteks GKSBS adalah seperti di atas. Melihat situasi dan kondisi yang demikian, maka GKSBS dipanggil untuk membangun perdamaian bagi segenap ciptaan. Demikian halnya Yabima Indonesia, sebagai bagian dari alat pelayanan gereja (GKSBS), pun dipanggil untuk ambil bagian mempersiapkan dan memberdayakan para pihak membangun Sumbagsel Damai.
Sinode GKSBS yang memiliki 14 klasis, 90 jemaat, dan ratusan jemaat kelompok, tersebar di 4 Propinsi yaitu Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu, dan anggota-anggota jemaat menyebar dalam lebih 30 Kabupaten/Kota merupakan aset yang luar biasa dalam membangun jaringan pelaku perdamaian yang berperan dalam level Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Propinsi. Yabima sendiri sejak awal berdirinya memiliki daerah dampingan yang berjumlah banyak, baik berbasis kasus-kasus masyarakat maupun pemberdayaan ekonomi. Ini menjadi modal utama gagasan aktor perdamaian di Yabima Indonesia dan GKSBS.
Oleh Karenanya, Yabima bekerjasama dengan GKSBS Klasis Jambi melakukan pelatihan dasar pembangunan perdamaian di GKSBS Rimbo Bujang-Jambi pada 28-29 September 2016 yang dihadiri oleh sekitar 18 orang. Pelatihan tersebut bertujuan:
- Memahami misi perdamaian gereja (GKSBS) dalam konteks kekerasan di Indonesia.
- Membangun kesadaran konteks yang kritis terhadap potensi-potensi konflik yang berujung pada terjadinya kekerasan.
- Meningkatkan kecakapan dalam membangun perdamaian bersama para pihak.
Diharapkan pasca pelatihan ini, para peserta memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
- Memahami peran dan fungsi GKSBS sebagai pembawa damai
- Memiliki kecakapan dalam analisa konflik
- Memiliki kecakapan membuat rencana pendampingan/advokasi
Materi-materi dalam pelatihan tersebut adalah:
- Misi perdamaian GKSBS
- Analisa konflik
- Teknik advokasi damai dan pengorganisasian masyarakat
- Refleksi bersama hidup damai