
Lagi-lagi bangsa kita disajikan pemberitaan soal nasib tragis buruh migran Indonesia di luar negeri. Kasus kekerasan yang dialami Sumiyati mencuat setelah mendapat liputan media.
Pemerintah kita sekali lagi menunjukkan karakternya, yakni bekerja secara reaktif untuk menghindari tekanan publik terkait dengan kasus-kasus BMI. Hal ini menunjukkan belum adanya perubahan mendasar terhadap usaha-usaha untuk meningkatkan perlindungan negara terhadap para pahlawan devisa.
Rendahnya komitmen pemerintah terlihat dari tidak adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) harus diakui lebih banyak berkutat pada aspek pengaturan penempatan buruh migran secara administratif semata.
Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh sistem penempatan BMI ke luar negeri saat ini adalah pihak swasta. Bahkan hal itu dijamin dalam UU No. 39/2004 pada Pasal 4 dan Pasal 10. Saatnya pemerintahan merubah paradigma dan politik penempatan BMI-nya, di mana manusia diperlakukan sebagai barang dagangan lewat politik buruh murahnya.
Derita buruk yang menimpa buruh migran kita sejak sebelum pemberangkatan dan ketika bekerja di negeri penempatan bersumber dari skema swastanisasi migrasi yang diadopsi dalam UU No. 39/2004 tentang PPTKILN. Derita buruh migran kita dapat dikurangi jika pemerintah mengubah skema swastanisasi migrasi menjadi nasionalisasi migrasi.
Dengan demikian, kepastian hukum, perlindungan BMI, dan daya tawar BMI tehadap negeri penempatan dapat dijamin dan tidak dialihkan kepada pihak swasta.Kita bisa belajar dari Filipina sebagai negeri yang pendapatan terbesarnya dari remiten para buruh migran. Filipina telah mengadopsi dan meratifikasi berbagai standar internasional, termasuk Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Dalam prakteknya, aturan ini dipakai sebagai acuan dalam politik penempatan buruh migrannya. Proses penempatan dilakukan direct hiring, yakni tanpa melalui agen penempatan berlaku. Kedua, kebijakan dari Pemerintahan Filipina karena proses penempatan buruh migran dilakukan oleh pemerintah melalui POEA (Philippines Overseas Employment Agency).
Kebijakan yang sedikit banyak mengurangi beban BMI. Alhasil, menurut penelitian IMWU (Indonesian Migrant Workers Union) di Hongkong, pelanggaran kontrak terhadap buruh migran asal Filipina sangat sedikit terjadi dibandingkan dengan pelanggaran terhadap buruh migran Indonesia.
Kasus Sumiyati semakin memperkuat analisis tentang mendesaknya revisi UU PPTKILN. Menurut data Migrant Care pada 2004, ketika UU PPTKILN itu baru disahkan, kematian buruh migran Indonesia di luar negeri berada pada angka 153 orang. Pada 2009 angka kematian buruh migran Indonesia telah sampai pada angka 1.018 orang atau meningkat 600%. Regulasi, yang diharapkan dapat melindungi para buruh migran, justru berakhir tragis.
Revisi UU PPTKILN menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Ruang lingkup UU juga harus diperluas dan mencakup juga anggota keluarga buruh migran. PRT (pekerja rumah tangga) migran, buruh migran mandiri, ABK, dan buruh migran tidak berdokumen.Hal tersebut sekaligus menjadi upaya untuk mengembalikan tanggung jawab negara untuk perlindungan buruh migran Indonesia melalui desentralisasi peran kepada pemda dan membatasi peran-peran swasta (PPTKIS) dalam proses migrasi.Revisi UUPTKILN diharapkan dapat menjamin hak-hak dasar buruh migran Indonesia sebagaimana dijamin dalam standar perburuhan internasional.
Di sisi lain, pemerintah juga harus segera membuat MoU dengan negara-negara penerima buruh migran Indonesia. Seperti kita ketahui, akibat tidak adanya MoU bilateral negara pengirim dan penerima, kasus-kasus kekerasan dan perlakukan sewenang-wenang terhadap buruh migran kita akan terus terjadi.
Sebagai contoh, pernyataan Duta Besar Saudi Arabia Abdurrahman yang mengatakan di antara sejuta lebih buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi, kasus Sumiati merupakan hal yang jarang terjadi, adalah tidak benar adanya. Faktanya, Migrant CARE mencatat sepanjang 2010 ada 5.563 pekerja rumah tangga yang bermasalah di Arab Saudi. Perinciannya, korban penganiayaan 1.097 orang, 3.568 orang sakit akibat situasi kerja tidak layak, dan 898 orang korban kekerasan seksual dan tidak digaji.
Dalam rangka memaksimalkan perlindungan hukum terhadap buruh migran kita di luar negeri, pemerintah kita juga sebaiknya menguatkan regulasi dengan menggagas konsep liabilitas hukum. Liabilitas harus dipandang sebagai tanggung jawab, keadaan dari seseorang yang terikat dengan hukum dan keadilan guna melakukan sesuatu yang mungkin dipaksakan melalui tindakan. Artinya, kondisi suatu persoalan yang muncul harus memberikan reaksi untuk suatu kewajiban dalam melakukan hal khusus yang dapat dipaksakan melalui tindakan pengadilan.
Indonesia dapat belajar dari sejumlah negara yang sudah lebih dulu menerapkannya. Jerman, Inggris, dan Prancis sudah mengintegrasikannya dalam beberapa regulasi yang mencakup dua aspek.Pertama, aspek hukum perdata yang mencakup masalah kompensasi bagi yang dirugikan. Kedua, aspek hukum pidana yang terkait dengan sanksi fisik yang harus dibebankan kepada pihak yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap buruh migran.
Dengan model perlindungan hukum yang demikian, sangat diyakini kemandulan perlindungan terhadap buruh migran kita dapat diminimalisasi. Para buruh migran yang seyogianya dipandang sebagai duta bangsa di berbagai negara, harus mendapat perlindungan hukum maksimal dalam rangka meningkatkan martabat para buruh migran, sekaligus harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata negara-negara lain.
Ide SBY untuk membagi-bagikan ponsel kepada para buruh migran merupakan ide yang baik, tapi tidak cukup tepat untuk mengatasi berbagai persoalan buruh migran. Hal tersebut akan menjadi lebih sempurna jika SBY mengubah paradigma pengiriman buruh migran dan memberikan jaminan perlindungan terhadap para pahlawan devisa kita.Para pahlawan devisa kita tentunya lebih membutuhkan jaminan perlindungan dari negara asal yang mereka cintai tersebut dibandingkan dengan sekadar ponsel.
Artikel ini dimuat di SKH Lampung Post Edisi Rabu, 24 November 2010