Silahkan dibagikanShare on whatsapp
Whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter

Yabima Indonesia saat ini sudah berada di paruh kedua tahun 2022. Kegiatan-kegiatan di lapangan perlu direview untuk memberi evaluasi sampai di mana posisi terkini dalam perencanaannya. Secara internal, dilakukan evaluasi program dan melihat kembali perencanaan menyeluruh di tahun 2022 ini. Yabima memandang perlu untuk membuat penilaian terhadap apa yang sudah dikerjakan. Ini adalah proses refleksi untuk mengambil jarak sejenak, dan melihat apa saja yang sudah yabima kerjakan.

Selama 3 hari ini, Selasa, 30 Agustus 2022 hingga Kamis, 1 September 2022, diskusi bulanan Yabima, selain akan melaksanakan review dan evaluasi program, juga akan diawalai dengan diskusi tentang Revolusi Hijau (RH). Istilah RH ini pada beberapa pertemuan di kelas petani maupun Temu Tani Organik Sumbagsel, sering diangkat ke permukaan dalam setiap diskusinya.

Revolusi Hijau, Sebuah Kritik

Konteks kita secara umum adalah petani. Mulai dari sebelum perang dunia I hingga pasca perang dunia II. Ancamannya pada masa-masa itu adalah kelaparan karena terjadi krisi pangan. Maka munculah suatu sistem pertanian yang kita kenal sebagai Revolusi Hijau (RH) atau lebih dikenal sebagai panca usaha tani. Latar belakang ini semua adalah teori pembangunan. Ada ketidakberesan sosial, kemiskinan, dan ketidaksejahteraan. Semua program saat itu adalah meningkatkan income yang ditempuh dengan cara menyuntik modal.

Dari diskusi ini, staff Yabima kembali diajak untuk melihat kembali apa itu RH? Kemudian apa saja kesuksesan atau nilai positif dan juga kegagalan atau nilai negatif RH?

Tumbuhnya kapitalisme bisa kita pahami sudah sejak abad ke-18, yaitu ketika industri kapas dan biji-bijian mulai tumbuh. RH diperkenalkan oleh William S Daud pada tahun 1960-an. Dia adalah seorang agen lembaga internasional USAID. Semangatnya saat itu adalah memberi makan pada populasi dunia akibat perang dunia I dan II yang mengalami kelaparan dan kekurangan pangan. Gerakan yang didanai oleh Rockefeller Foundation ini adalah jawaban dari krisis pangan dunia yang terjadi. Bahkan telah berhasil merekayasa padi dan gandum.

Di era 1970-an, seorang botani bernama Norman Barlaug, mengembangkan sistem revolusi hijau ini di Meksiko. Dia berhasil merekayasa benih gandum yang sangat terkenal dengan nama miracle wheat atau gandum ajaib.

Rupanya, rekayasa genetika melalui perkembangan teknologi terhadap benih-benih ini menjadi daya juang tersendiri terhadap sistem Revolusi Hijau. Ada modal yang digelontorkan untuk berbagai proyek. Ada teknologi yang berhasil menciptakan benih-benih melalui rekayasa geneitanya. Bahkan, ilmu pengetahuan mendapat tempat istimewa dengan kemampuan magisnya untuk menyelesaikan persoalan krisis pangan akibat perang dunia.

Sains Agriculture dan Praktek Pertanian

Apakah perkembangan sains telah mengubah praktek pertanian? Melalui kemampuan magisnya tersebut, Teknologi pertanian telah mengubah wajah pertanian, dan juga petani itu sendiri. Perangkat teknologi pendukung pada akhirnya juga bermunculan, menyeruak dalam budaya pertanian yang selama ini ada dalam masyarakat. Teknologi dalam dunia pertanian berdampak, bukan saja munculnya varietas baru, tetapi juga munculnya mesin-mesin pertanian olah tanah sampai mesin-mesin pasca panen. Ini terlihat seperti menggembirakan dalam menyediakan pangan yang masif demi tertanganinya krisis pangan yang melanda pasca perang dunia. Tetapi pertanyaan kritis yang muncul kemudian waktu adalah; bagaimana para petani kita mendapatkan varietas-varietas baru tersebut? lalu, bagaimana mereka membutuhkan pupuknya?

Pada awalnya, banyak hal yang diberikan kepada petani secara gratis melalui kebijakan pemerintah. Bibit, pupuk, dan beberapa kegiatan pasca panen terkesan gampang dan mudah diakses. Bahkan pemerintah menciptakan para penyuluh pertanian yang juga menjadi bagian dari kampanye RH ini. Lalu mengapa mereka, petani ini, membutuhkan pupuk dan sebagainya? Hal ini disebabkan karena munculnya benih dan varietas baru hasil rekayasa teknologi ini diciptakan memang harus membutuhkan pupuk. Di samping itu juga, motivasi untuk mendongkrak produktifitas petani menjadi iming-iming tersendiri. Cerita-cerita di antara petani tentang keberhasilan benih ini, atau menggunakan pupuk itu, menjadi daya tarik yang membujuk. Siapa yang pertama kali berhasil dengan varietas baru, maka akan cepat sekali menyebar. Kemudian seberapapun kemampuan tanah dan petani akan diberi fasilitas semaksimal mungkin. Sepertinya, sejak saat inilah para petani kita mulai berubah dalam budaya pertaniannya.

Agriculture Dengan Segala Trickynya

Pertanian pernah menjadi tempat bagi mayoritas manusia hidup dan bekerja. Tetapi kini pertanian menjadi tempat hanya sebagian kecil (marginal) orang. Bahkan saat ini, panen raya hanya menjadi sumber kebanyakan orang untuk mendapatkan pangan untuk tetap hidup tanpa pernah mengerti bagaiman proses menciptakan pangan ini dikerjakan.

Hal ini juga bisa dilihat dari paradigma dan ungkapan-ungkapan dalam keluarga jaman sekarang. Misalnya orang tua yang menakuti anaknya dengan mengatakan “kalau tidak mau sekolah yang bener, nanti hanya akan menjadi petani, lho!”. Atau misalnya keluarga yang menghadapi kondisi ekonomi tersendiri. Contohnya ketika sebuah keluarga di sebuah daerah yang ternyata harga tanahnya jauh lebih mahal daripada hasil tani jika tanah itu diolah. Godaan untuk menjual lahan atau mengalih fungsikan tanahnya menjadi besar. Dijual dengan harga yang tinggi kemudian mengubah profesi dari petani menjadi profesi lainnya.

Agricultur, di satu sisi adalah bermotif bisnis yang juga menghasilkan pangan. Tetapi juga sebagai jejaring ekosistem pangan yang manusia menjadi bagian utuh di dalamnya. Tanpanya, manusia tak dapat bertahan dalam kehidupannya. Hamparan hijau, subur, dan menyenangkan untuk dipandang, realitasnya menunjukkan kerusakan total.

Agricultur, juga dipahami sebagai sesuatu yang harus diperlakukan secara lebih dibandingkan hal-hal lain di negeri agraris ini, tetapi jika kita lihat dari anggaran negara, pertanian masih kalah dengan bidang-bidang lain.

Bagaimana dengan pertanian di SUMBAGSEL? Kontrasiksi atau pertentangan apa yang dapat kita petakan? Dalam Temu Tani Organik Sumbagsel yang lalu, pertanian kita setidaknya telah dapat kita gambarkan bahwa petani itu juga berperan sebagai buruh dari pencipta input-input pertanian itu sendiri. Secara tak sadar, petani berperan sebagai agen, pemasar dan juga pemakai produk-produk mereka. ironis.

Teknologi Pertanian = Transformasi

Teknologi adalah perangkat yang berguna untuk mengakses sumber daya alam dan menghasilkan pangan. Agricultur itu sendiri adalah sebuah pengetahuan. Ada varietas tanaman, ada benih dan ada tanah yang harus disiapkan dengan baik, hingga pasca panen. Dalam proses ini, apakah teknologi itu?

Teknologi adalah sebuah perantara antara lingkungan atau sumber daya agraria dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Ada jarak antara keinginan manusia dan sumber daya agraria maka teknologi adalah alat untuk mengontrol keinginan ini. Itu seperti jembatan perantara antara human dan non human.

Dari kondisi ini, pertanyaan reflektifnya adalah bagaimana mungkin kereta teknologi yang bergerak begitu cepatnya ini dapat disikapi oleh petani? Apakah petani akan menolaknya atau mengikuti teknologi? Atau mungkin ada semacam modifikasi-modifikasi di tingkat pelaksanaan? Misalnya, bibitnya dari genetically modified organism (GMO) tetapi dengan perlakuan organik. Atau bibit lokal (non GMO) dengan perlakuan padat modal seperti produk-produk perusahaan ecofarming yang mengusung label organik. Sepertinya, tricky-tricky (atau istilah yang yabima disebut jeglongan) seperti ini tidak bisa disikapi dengan cara idealis.

Apakah GMO atau benih yang direkayasa genetika itu merusak lingkungan? Pertanyaan ini perlu dipahami dengan mengetahui prinsip pembuatan GMO. Bibit lokal yang direkayasa sehingga menjadi GMO sudah melalui perlakuan kimia. Termasuk bahan-bahan bersifat racun yang melindunginya dari semut dan hama lainnya. Ketika masih dalam kemasannya pun biji-biji benih ini dilindungi oleh bahan-bahan kimia. Unsur yang bersifat racun ini tetap menjadi residu di dalam tanah. Jika GMO ini akan kita perlakukan dengan cara organis, maka perlu untuk melewati beberapa turunannya. Lalu pertanyaan tentang; bukankah GMO atau hibrida itu tidak bisa diturunkan? Artinya turunannya tidak bisa ditanam (jadi benih lokal)? Sepertinya hal ini menjadi semacam propaganda perusahaan agar petani tetap membeli dan memakai benih GMO terus menerus.

Jadi teknologi sebagai alat ini menjadi hal yang benar. Melalui kemampuan yang dapat dilakukan oleh teknologi ini maka teknologi memiliki kemampuan untuk menjembatani manusia (keinginan) dengan alam (sumberdaya).


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*