Salah satu prinsip penting dalam pertanian selaras alam adalah spirit hidup dalam keseimbangan. Bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan untuk hidup berdampingan tanpa ada yang tersakiti. Dari sinilah apa yang kita sebut sebagai pertanian organik itu disemai, dilaksanakan dan dihidupi dalam tindakan bercocok tanam. Semua mahkluk hidup yang ada, baik itu hama maupun musuh alaminya, harus diletakkan pada pemahaman bahwa mereka adalah satu kesatuan ekologis.
Yabima Indonesia bersama dengan empat kelompok tani di desa Sumber Harpaan, Belitang II, OKU Timur, baru-baru ini melaksanakan perayaan petik padi atau panen perdana padi organik. Pendidikan petani sudah dilaksanakan dalam kelas-kelas diskusi selama 7 sesi pertemuan selama tahun 2021. Dalam pendidikan petani ini, berbagai tema diangkat dan didiskusikan bersama untuk mengetahui sejarah petani, politik pertanian di Indonesia, politik pangan, sejarah pertanian organik, pertanian terpadu dan berkelanjutan. Juga keterampilan teknis untuk mendukung gerakan pertanian yang berkelanjutan itu sendiri seperti cara pembuatan Pupuk Organik Padat (POP), Pupuk Organik Cair (POC), dan juga pestisida alami. Semua bahan yang digunakan adalah apa yang tersedia di alam, seperti kotoran hewan untuk POP dan POC serta untuk pestisida alamai terbuat dari daun sereh, biji mahoni, dan daun sirsak. Ada 3 kelompok di desa Sumber Harapan ini, yaitu Kelompok Sejahtera Bersama (KSB), Kelompok Rukun Tani (KRT), dan satu kelompok lagi yang terdiri dari pemuda-pemuda desa yang tergabung dalam Kelompok Remaja Berkarya (KRB).
Prinsip kembali ke alam karena alam sudah menyediakan semua kebutuhan untuk bertanam, sebuah tugas mulia dari petani yaitu untuk menghidupi melalui penyediaan pangan, dengan pendekatan keseimbangan alam. Sangat disadari oleh setiap anggota kelompok bahwa mereka, para petani ini, memproduksi pangan sehat melalui gerakan organik ini adalah bonus dari sebuah tujuan utama yaitu mengurangi, atau bahkan menghilangkan ketergantungan pada apa yang dinamakan belenggu pasar yang diwakili oleh ketersediaan pupuk kimia. Lingkaran ketergantungan ini mampu diputus oleh pengetahuan dan keterampilan organik ini. Petani tidak akan begitu mudahnya untuk disetir oleh pasar pupuk kimia yang selama ini disadari sering mempermainkan mereka. “Pupuk mahal?? Silahkan. Pupuk langka? Santuuyy aja…” pekik semangat salah satu anggota Kelompok Pemuda Berkarya dalam orasi kesan pada perayaan petik padi.
Tradisi Petik Padi
Malam itu, Jumat 25 Maret 2022, anggota ketiga kelompok tani ini berkumpul di kediaman Bpk. Trimo. Karena direncanakan esok paginya akan diadakan perayaan panen padi maka dirasa perlu untuk mengundang sesepuh yang ada di komunitas untuk berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman dan spiritualitas para sesepuh dulu dalam memaknai proses bercocok tanam. Mbah Parlan dan Mbah Parni nampak antusias bercerita, meskipun sebenarnya ada rasa khawatir dan ragu. Ada ketakutan jika nantinya pengalaman dan spiritualitas leluhur ini dianggap kuno dan akhirnya terkesan menjadi mainan oleh generasi yang lebih muda ini.
Dalam pertanian organik, yang di awal tulisan ini sudah disebutkan menjadi bagian dari keseimbangan alam, maka serasa semakin lengkap jika dalam prosesnya pun memberi ruang kepada tradisi-tradisi dari timur yang dikenal sangat menghormati keterhubungan setiap mahkluk di alam semesta ini. Seperti yang diungkapkan oleh Bpk. Trimo pada malam sebelum perayaan bahwa kita, manusia ini, sudah terlalu lama melupakan Ibu Pertiwi, yang beliau sebut sebagai “Siti”. Padahal Ibu Pertiwi atau Siti inilah yang memberikan kita semua sumber kehidupan. Manusia membutuhkan makan maka Ibu Pertiwi mengeluarkan padi sebagai simbol kehidupan. Juga setiap pohon akan berbuah karena Ibu Pertiwi. Manusia haus maka Ibu Pertiwi ini mengeluarkan air sebagai sumber kehidupan yang juga sangat pokok dan utama. Bukan hanya itu, bahkan bumi ini, sang Ibu Pertiwi, adalah juga tempat kita membuang kotoran dan segala sampah yang kita ciptakan. Maka tidak ada alasan lagi, bahwa kita harus dengan sungguh-sungguh memberi hormat terhadap Ibu Pertiwi. Mbah Parlan menghantarkan kita pada pemahaman dari salah satu filsafat timur, khususnya tradisi dari tanah Jawa. Jika kita berharap bumi ini memberikan hasil baik maka sikap menghormati yang paling baik adalah dengan menjalin komunikasi dengannya.
Setelah Diskusi, Kini Saatnya
Sejak Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Sumber Harapan ini dimulai, yaitu sekitar awal Desember 2021 yang lalu, komunitas tani yang ada menentukan lahan sawah sebagai media untuk menerapkan ilmu atau teori yang didapatkan selama kelas pendidikan petani. Proses membumikan teori ini melalui tiga demplot yang masing-masing dengan cara dan perlakuan tanam yang sedikit berbeda. Lahan yang digunakan adalah lawahn sawah milik Bpk. Lanjar yang selama ini terkenal sebagai “lahan neraka” karena sulitnya mengolah sawah ini untuk menghasilkan padi yang maksimal. Bahkan untuk sekedar tumbuh pun, tanaman padi seperti enggan. Setidaknya itu yang diceritakan. Lahan sawah Pak Lanjar ini dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan ukuran jarak tanam, yaitu jarak tanam 30 cm x 30 cm, 27 cm x 27 cm dan 25 cm x 25 cm. Setiap proses dari benih, pengolahan tanah, pengendalian hama, pertumbuhan tanaman, pemupukan kompos, sampai pada ngubin atau pengambilan sample padi untuk mengetahui produksi padi dalam satu hektar. Pak Sutiman, salah satu fasilitator dari Lampung, tepatnya desa Purwokencono, Lampung Timur, ikut membantu mendampingi komunitas di Sumber Harapan. Bahkan Pak Sutiman secara intensif, sebulan terakhir sebelum perayaan petik padi ini sudah live in di komunitas Sumber Harapan. Membantu kelompok untuk mengumpulkan data, baik pertumbuhan tanaman, jenis hama yang muncul, dan proses ubin di saat panen tiba.
Proses ubin kali ini mengambil sample padi pada area 2,5m x 2,5m. Menurut Pak Sutiman, pada prinsipnya luas area sample ini semakin luas semakin bagus. Artinya semakin luas area sample maka tingkat error atau penyimpangannya semakin kecil.
Dari data ubin yang dilakukan oleh ketiga kelompok, masing-masing dapat dihitung sebagai berikut:
- Kelompok jarak tanam 25cm x 25cm
- Area ubin : 2,5m x 2,5m
- Berat batang (damen) : 9,9 Kg
- Berat padi : 4,1 Kg
- Perkiraan hasil : 6,56 ton per hektar
- Kelompok jarak tanam 27cm x 27cm
- Area ubin : 2,5m x 2,5m
- Berat batang (damen) : 7,5 Kg
- Berat padi : 3,5 Kg
- Perkiraan hasil : 5,6 ton per hektar
- Kelompok jarak tanam 30cm x 30cm
- Area ubin : 2,5m x 2,5m
- Berat batang (damen) : 7,5 Kg
- Berat padi : 5,3 Kg
- Perkiraan hasil : 8,48 ton per hektar
Hasil ini tentu saja menggembirakan sekali. Sangat mendekati dari pertanam secara kimia. Bahkan jauh sekali lebih menguntungkan karena tanah tetap subur dan penuh dengan unsur hara. Seperti kita ketahui, dalam jangka panjang pertanian dengan pupuk kimia ini mematikan semua mahkluk hidup di tanah yang sejatinya kita butuhkan untuk proses penggemburan dan produksi unsur hara dalam tanah. Akhirnya tanah menjadi kering dan kurus. Hal ini menciptakan ketergantungan petani pada pupuk secara terus menerus karena tanah tidak mampu memproduksi unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Jauh berbeda dengan pertanian organik yang tetap menjaga mahkluk hidup dalam tanah, yaitu organisme-organisme penyubur untuk mengurai bahan-bahan organik yang ada. Dalam jangka panjang, tanah akan tetap bisa memproduksi unsur hara dengan bantuan organisme ini. Pak Sutiman menjelaskan bahwa dalam pertanian organik, batang padi pun dapat diolah oleh organisme menjadi unsur har ini. Tapi kesalahan petani selama ini adalah menganggap batang padi ini dapat menjadi pupuk, tetapi mereka membunuh organisme dalam tanah dengan pupuk kimia dan pestisida. Ini mustahil terjadi.
Reporter : D.S. Harjanto
Facebook : fb/dwisetyoharjanto
Instagram : IG/d_setyo_harjanto