Memasuki kota Kabanjahe, Ibukota Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara (± 75 Km dari Medan atau ± 120 Km dari Bandara Kuala Namu ) kita tidak akan langsung bersua dengan suasana bencana. Kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa. Jalan dan suasana lalu lintas tetap dipenuhi oleh kendaraan baik umum maupun pribadi.
Seolah-olah berita dari media masa hanya isapan jempol semata. Bahwa Erupsi Sinabung adalah Bencana Nasional atau tidak, adalah perdebatan yang tidak relevan. Sepanjang Jalan Jamin Ginting (Jalan utama di Kabanjahe), dipenuhi dengan spanduk para caleg Kabupaten, Provinsi atau Pusat dari berbagai partai. Kalaupun ada ruang yang masih kosong diantara bangunan rumah dan pertokoan, yang terlihat adalah tanaman sayur-mayur atau kembang yang memang menjadi ikon pertanian Kabupaten Karo.
Tetapi semakin dicermati, ternyata tidak semua baliho berisi urusan siapa yang akan menjadi pemimpin rakyat tahun depan. Ada tersisip baliho bertuliskan “Posko Bencana Sinabung”. Di sepanjang jalan Jamin Ginting (18 Km) yang menghubungkan Kabanjahe dengan Berastagi, terdapat lebih kurang 25 posko bencana. Ada yang menggunakan ruang sekolah sebagai shelter utama, ada yang tinggal di Mesjid besar, Jambur (Gedung untuk resepsi pernikahan dan acara pertemuan adat, di Loods),di Pasar , tetapi lebih banyak tinggal di gedung Gereja. Bangunan tersebut telah permanen, tetapi tenda-tenda sementara masih tetap dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan kolektif (spiritual, trauma healing, koordinasi-koordinasi dan pos kesehatan) dan sebagian masih dipakai untuk tempat tinggal.
Bangunan-bangunan tersebut dapat menahan air dari curahan hujan pada saat musim hujan, namun tidak untuk angin dan udara yang dingin khususnya di malam hari. Dalam kondisi biasa, suhu di Kabanjahe sekitar 17oC –29⁰C, terlebih di sekitar Berastagi dan Gundaling (Kec. Berastagi). Tetapi ini berbeda dengan mereka yang tinggal di Loods atau Jambur. Kedua bangunan ini (umumnya) tidak dilengkapi dengan dinding yang memadai, hingga air hujan dan angin tidak terhalang. Dimanapun pengungsi tinggal, mereka harus rela tidur berhimpit-himpitan, tanpa sekat yang memadai.
Tinggal berhimpitan dalam ruang setengah terbuka bukan hanya menjadi persoalan kesehatan semata. Ini juga melukai culture mereka yang sangat membedakan pola komunikasi dan interaksi tergantung pada jenis kekerabatan. Bukan hanya fisik mereka yang dipaksa bertarung dengan cuaca dan penyakit. Tetapi juga jiwa yang dibentuk oleh adat, pola sosial dan budaya pun harus dipaksa rela menerima. “Bukan Kehendak Kita tetapi Kehendak Yang Kuasa”, begitu kata spanduk sebuah perusahaan komunikasi di salah satu posko yang berusaha menghibur kegelisahan para pengungsi. Mungkin karena itu, maka situasi disebut darurat, Terluka dan terpaksa secara fisik dan mental.
Namun saya harus menuliskan ini, sesuatu yang menjadi kesan saya. Mereka tidak saling menyalahkan seperti di Ibu Kota. Mereka tidak terlihat seperti meminta sesuatu walau memang kesulitan. Sedapatnya mereka kembali ke ladang di siang hari. Walau ada keluhan, itu adalah tentang biaya anak-anaknya di perguruan tinggi. Di daerah bencana, itu sesuatu yang KABAN alias langka.
Oleh Pdt.Erik Timoteus Purba