Silahkan dibagikanShare on whatsapp
Whatsapp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter

Senin, 28 Maret 2011

Syahrul Sidin (Persatuan Petani Moro-moro, Way Serdang, Mesuji)

TERSENYUM, begitulah yang saya lakukan ketika membaca opini berjudul Ilusi Warga Moro-moro yang ditulis Bapak A.A. Waliyah. Tersenyum bukan karena tulisan tersebut “tidak membela kami”, tapi bangga karena ternyata meskipun kami adalah “setengah manusia” ternyata masih ada pihak yang peduli dengan kami meskipun dengan berbagai posisi dan sudut pandangnya. Tentunya kami warga Moro-moro menghormati setiap posisi dan sudut pandang orang lain terhadap kami.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan jika klarifikasi tak cukup pantas bagi kami yang dianggap “manusia ilegal”. Pertama, pendapat Bapak bahwa warga Moro-moro yang secara antropologi merupakan warga Indonesia yang bermigrasi dari berbagai daerah di Indonesia dan menjadi penghuni kawasan yang disebut Register 45. Pendapat ini agaknya kurang tepat, kami berasal dari berbagai daerah di Lampung. Kami hanya orang-orang yang tergusur dari register-register lainnya di sekitar Lampung, kami hanyalah orang yang keluar dari kampung asal kami di berbagai daerah di Lampung karena ingin meneruskan hidup. Dengan kerendahan hati kami mengundang Bapak sebagai saudara untuk datang ke tempat kami, menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong sambil mengobrol dengan warga kami apakah yang saya sampaikan tersebut benar adanya.

Kedua, pendapat Bapak terkait bahwa keberadaan kami menjadi objek bagi kalangan tertentu untuk diberdayakan dan masyarakat yang secara hukum dan administrasi pemerintah tak punya legalitas merupakan masyarakat yang sepanjang hidupnya akan selalu menjadi objek bagi masyarakat lain. Jika Bapak sempat dan berkenan membaca dokumen-dokumen perjuangan kami, berdiskusi barang sejenak dengan kami maka mungkin akan mengubah pendirian Bapak.

Kami berjuang bukan untuk orang atau masyarakat lain, melainkan untuk cita-cita kami sendiri, yakni pengakuan sebagai manusia. Kalaupun Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Mesuji tidak berkenan mengakui kami sebagai penduduk, kami akan menghormati pilihan tersebut tapi setidak-tidaknya akui kami sebagai warga negara yang memiliki hak-hak, seperti yang diatur dalam konstitusi kita yang notabene menjadi konstitusi Bapak juga bukan?

Kami secara sadar berjuang sebagai subjek untuk memperjuangkan harkat dan martabat kami sebagai manusia, betul bahwa banyak informasi yang kami serap dari berbagai pihak, seluruh informasi tersebut kemudian kami refleksikan dengan keadaan kami sendiri. Bukankah dalam Alquran disebutkan bawah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang berusaha untuk mengubah nasibnya. Dengan keyakinan tersebut, kami adalah subjek bagi cita-cita kami sendiri yang kebetulan berkesesuaian dengan konstitusi.

Apakah bicara soal hak asasi manusia secara terbuka seperti yang diatur dalam bab khusus dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya adalah sebuah kesalahan? Jika demikian adanya, mungkin Bapak sebagai aktivis bisa menggagas amendemen konstitusi sebagai jalan konstitusional untuk membantah semua “ilusi kami”. Buat kami orang-orang yang memiliki pandangan mendukung kami bukanlah sebagai orang yang ingin menunggangi kami, melainkan sebagai orang yang ingin melihat terwujudnya cita-cita konstitusi bangsa ini.

Kedua soal pandangan objek politik, Bapak menulis kebuntuan yang dialami warga Moro-moro selama ini untuk mendapat pengakuan, mendadak mempunyai harapan. Mereka pun memberikan dukungan yang sangat besar kepada calon kepala daerah tertentu dengan harapan jika menang akan dilegalisasi sebagai warga Kabupaten Mesuji. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, awalnya pada 2007 memang kami berjuang untuk mendapatkan hak politik dengan harapan pragmatis seperti yang Bapak tuliskan. Ternyata memang kami hanya mendapatkan berbagai janji palsu seperti yang Bapak sampaikan, ya begitulah politik dan kami banyak belajar dari pengalaman tersebut. Sejak tahun 2009, kami mulai sadar bahwa perjuangan yang kami lakukan bukan untuk bisa memilih, melainkan untuk mengangkat harkat dan derajat kami sebagai manusia. Dengan demikian kami tidak peduli siapa yang akan menjadi kepala daerah, kami hanya ingin melihat bahwa konstitusi diterapkan di negeri yang kami cintai.

Banyak pemilu yang telah terlewat, ikut atau tidaknya kami toh kami tetap miskin dan teraniaya seperti yang Bapak tuliskan. Dengan demikian, sejatinya bukan pilkada yang akan mengubah nasib kami. Kami sependapat dengan Bapak bahwa seandainya pun kami bisa mempergunakan hak pilih kami dan memenangkan calon kepala daerah yang telah menjanjikan berbagai hal, kami tetap harus bersiap untuk kecewa. Seperti yang Bapak tulis, janji politik menjelang pilkada adalah ilusi dan pada realitasnya tidak bisa diwujudkan. Tapi seandainya kami diberikan hak pilih, kami pun tidak akan berharap banyak, kami hanya ingin melihat anak-anak kami bisa pergi ke posyandu, bisa mendapatkan akta kelahiran agar ke depan bisa hidup lebih baik daripada kami, hidup layak seperti kehidupan yang Bapak rasakan sebagai warga negara.

Kami juga tidak potensial seperti yang dibayangkan orang-orang, jumlah pemilih kami hanya 2.173 orang. Jumlah tersebut tidaklah signifikan untuk pemenangan, tapi akan menjadi signifikan bagi para calon yang kalah jika ingin mengajukan permohonan ke MK untuk menjelaskan bagaimana proses pilkada dilaksanakan. Mungkn pendapat Bapak lebih akan tepat jika semua orang yang ada di Register 45 dipulihkan hak-hak politiknya, hal tersebut akan menjadi sesuatu yang signifikan. Dalam perkiraan kami terdapat 5 ribu—7 ribu orang yang hidup dan menetap di Register 45.

Cita-cita ini bagi kami bukanlah ilusi, cita-cita kami adalah cita-cita yang sebenarnya sudah ada dalam konstitusi kita. Tanpa bermaksud tendensius terhadap Bapak, mungkin jika Bapak hidup dan menulis di era prakemerdekaan, Bapak juga mungkin akan menulis ilusi kemerdekaan Indonesia. Kami mendapat cerita dari nenek moyang kami bahwa tidak ada orang yang bermimpi bahwa Indonesia akan merdeka pada 1945, tapi kenyataan berkata lain dengan perjuangan yang gigih bangsa yang kita cintai dapat merdeka. Saat itu saya kira nenek moyang dan para pejuang kita tidak sedang berilusi, tapi berjuang untuk suatu mimpi dan cita-cita mulia.

Saya dan ribuan orang Moro-moro lainnya hanya seorang petani biasa, kalau memang berjuang untuk cita-cita hidup sebagai manusia seutuhnya tidak berkenan bagi Bapak, tentunya izinkanlah kami kami untuk sekadar bermimpi agar kelak kami bisa mendapat perlakuan yang sama seperti yang Bapak terima sebagai warga negara. Meskipun kami menduduki hutan yang menurut pemerintah lebih layak dikuasai oleh perusahaan swasta murni, apakah kami tidak boleh bermimpi untuk bisa hidup layaknya warga negara lainnya? Apakah bermimpi dan berjuang untuk meraih mimpi tersebut melanggar konstitusi?

Sekali lagi kami ingin tegaskan bahwa cita-cita kami adalah agar ke depan anak-anak kami bisa hidup seperti Bapak, bisa menulis dan berpikir cerdas. Kami tidak meminta pemerintah memberikan sertifikat untuk kami, kami hanya tidak ingin lagi melihat anak-anak kami harus meninggal karena kesulitan untuk mendapatkan layanan persalinan, kami tidak ingin lagi melihat anak-anak kami kesulitan utuk bisa bersekolah, kami hanya ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki hidup agar tidak terus-menerus menyusahkan pemerintah. Satu hal, Kami tidak pernah membenci pemerintah, kami hanya berusaha terus-menerus mengingatkan pemimpin kami tentang kewajiban konstitusionalnya seperti yang diatur dalam konstitusi dan diucapkan dalam setiap sumpah jabatannya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*