Kepiawaian Muhadi memanfaatkan peluang patut diacungi jempol. Di tangan dingin pria ini, warga Dusun Moroseneng, Desa Kedaton, Kecamatan Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur, kini bisa terbebas dari krisis energi. Bersama Kelompok Tani Usaha Mandiri, Muhadi dkk berhasil mengembangkan teknologi biogas sederhana yang murah meriah.
TEKNOLOGI ini dirancang sangat sederhana. Kandang-kandang sapi yang awalnya berfungsi mengamankan ternak dimanfaatkan menjadi tempat produksi kotoran sapi menggunakan tangki khusus. Dari tangki inilah kemudian dialirkan lagi ke tangki penampung gas sebelum langsung ke kompor di dapur.
Hasil kreativitas kelompok usaha yang beranggotakan warga Desa Kedaton mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga di Dusun Moroseneng. “Yang melatar belakangi kami mengembangkan teknologi biogas sederhana karena krisis energi dan semakin mahalnya bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga saat ini,” kata Ketua Kelompok Usaha Mandiri, Kecamatan Batanghari Nuban, Lampung Timur, Muhadi (50).
Muhadi menjelaskan, tahun 2008 ia mengajak anggotanya mengembangkan instalasi kompor biogas sederhana. Ide ini terinspirasi dari pengalaman studi banding dengan petani di Lampung Barat akhir tahun 2008. “Dari pengalaman studi banding itulah saya kemudian berpikir bagaimana membuat teknologi yang lebih sederhana dengan biaya yang lebih murah,” katanya.
Muhadi mengungkapkan, bersama rekan-rekannya di Kelompok Tani Usaha Mandiri berhasil memodifikasi instalasi biogas yang lebih sederhana dengan biaya lebih murah. “Ini semua instalasi termasuk kompornya cuma habis Rp700 ribu. Kalau yang di Lampung Barat butuh biaya awal sekitar Rp 2,5 juta,” ungkapnya.
Berdasarkan pemantauan Tribun, Muhadi dan kelompoknya merakit sendiri seluruh instalasi kompor biogas, dan mengajak anggotanya yang memiliki sapi agar mulai menerapkan pemanfaatan biogas. Wadinem (55) warga Dusun Moroseneng mengaku, bahwa sejak menggunakan biogas ia bisa berhemat sampai dengan Rp 180 ribu setiap bulan. Sebelum memakai biogas, Wadinem butuh minyak tanah dua liter sehari dengan harga satu liter Rp 6.000. Dalam satu bulan, Wadinem mengeluarkan sekitar Rp 360 ribu untuk keperluan membeli minyak tanah. “Sekarang cukup seliter saja sehari,” ungkap Wadinem.
Hal serupa dikatakan Waginem (40) yang sudah merasakan manfaat dari teknologi biogas. “Lumayan sisa uang buat beli minyak tanah bisa dipakai beli beras. Selain itu nggak usah capek- capek lagi cari kayu bakar,” katanya.
Budi (32) seorang petani kakao mengatakan limbah dari kompor biogas langsung digunakan untuk menjadi pupuk cair untuk tanamannya. “Ternyata hasil buah kakao tambah semakin bagus saja,” katanya.
Surat (35) Warga Dusun Moroseneng lainnya menjelaskan, saat ini ada 20 kepala keluarga di Moroseneng merasakan manfaat penggunaan kompor biogas. “Keberhasilan ini menyebabkan banyak kelompok-kelompok tani lainnya datang ke dusun kami,” ungkapnya.
Mereka rata-rata datang dari wilayah Lampung seperti Purwo Kencono, Rejo Basuki, Seputih Banyak, Seputih Raman. Ada juga yang dari luar Lampung seperti Medan, dari Yayasan Ate Keleng yang datang akhir tahun lalu melakukan studi banding. “Dinas Peternakan Provinsi Lampung akhir tahun lalu juga datang ke sini dan memberikan predikat Desa Mandiri Energi,” ungkapnya. Muhadi menambahkan, penggunaan biogas di Moroseneng tidak kalah dengan pengguna minyak tanah. Karena untuk memasak tiga sampai empat liter air, hanya membutuhkan waktu sekitar enam menit serta api kompor berwarna biru serta tidak menimbulkan bau apapun,” katanya. Ketika ditanya apakah tidak ada risiko meledak atau kendala lainnya, Muhadi mengatakan sejauh ini aman-aman karena ada pengatur kontrol tekanan di luar.
Pinarno Adi dari Yayasan Bimbingan Mandiri (YABIMA) saat dijumpai Tribun di lokasi pengembangan bigoas mengatakan, saat ini ada 5-6 orang anggota kelompok yang sudah bisa menjadi konsultan pengembangan kompor biogas di tempatlain.
Adi berharap pemerintah bisa memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi biogas sederhana sehingga akan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan teknologi ini.
“Selain menghemat energi, kita juga bisa melestarikan alam dengan memaksimalkan apa yang ada di sekitar kita. Dan kedepan saya berharap bisa menemukan teknologi instalasi biogas untuk penerangan rumah tangga,” katanya. (eka ahmad solichin)
Tribun Lampung / Eka Ahmad Solichin
Kompor Biogas di Dusun Moroseneng Lampung Timur
Selasa, 19 Januari 2010 | 01:04 WIB